“Pertaruhannya sangat tinggi,” katanya, “karena ini adalah masalah hidup dan mati.” Anatomi setiap pasien berbeda-beda, begitu pula cara penyakit berperilaku pada pasien.

“Saya melihat (gambar dari) CT scan dan MRI lalu melakukan operasi,” dengan mengendalikan lengan robot, kata Parekh. “Jika Anda ingin robot melakukan operasi sendiri, ia harus memahami semua pencitraan, cara membaca CT scan dan MRI.” Selain itu, robot perlu mempelajari cara melakukan operasi lubang kunci, atau laparoskopi, yang menggunakan sayatan sangat kecil.

Gagasan bahwa AI akan selalu sempurna sulit untuk dianggap serius ketika tidak ada teknologi yang sempurna. Tentu saja, teknologi otonom ini menarik dari sudut pandang penelitian, namun dampak buruk dari operasi yang gagal yang dilakukan oleh robot otonom akan sangat besar. Siapa yang Anda hukum jika terjadi kesalahan, siapa yang izin medisnya dicabut? Manusia juga tidak sempurna, namun setidaknya pasien merasa tenang karena mengetahui bahwa mereka telah menjalani pelatihan bertahun-tahun dan dapat dimintai pertanggungjawaban jika terjadi kesalahan. Model AI adalah simulasi kasar manusia, terkadang berperilaku tidak terduga, dan tidak memiliki pedoman moral.

Jika para dokter kelelahan dan terlalu banyak bekerja—yang merupakan alasan para peneliti berpendapat mengapa teknologi ini bermanfaat—mungkin masalah sistemik yang menyebabkan kelangkaan obat harus diatasi. Telah banyak dilaporkan bahwa AS mengalami kekurangan dokter yang ekstrim karena semakin tidak dapat diaksesnya dokter di lapangan. Menurut American Association of Medical Colleges, negara ini diperkirakan akan mengalami kekurangan 10.000 hingga 20.000 ahli bedah pada tahun 2036.